Situasi buruk di Sudan Selatan akibat perang belum menemui kata usai, meskipun kesepakatan damai telah ditandatangani antara pihak yang berperang pada 22 September 2015. Bahkan saat itu, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan merilis laporan bahwa telah terjadi peningkatan tajam pertempuran di Distrik Koch, Mayendit dan Leer. Warga sipil pun melarikan diri mencari perlindungan di Kota Nyaal. Sebanyak 78.000 orang mengungsi saat itu, dan akhir September 2015 18.000 orang juga telah tiba di Kota Nyaal. Sejak pertengahan Agustus 2015, 10 perahu kano yang masing-masing membawa 60-70 orang tiba di Nyal setiap harinya.
Selama kurun waktu itu, ribuan orang melarikan diri dari kampung halaman melakukan perjalanan berbahaya ke Kota Nyaal. Dari ribuan pengungsi itu banyak yang menderita kekurangan gizi dan kelaparan di Mvlo Country, Western Equatoria. Tragedi kemanusiaan inilah yang menggerakkan hati rakyat Indonesia menyalurkan bantuan untuk sudan selatan agar terhindar dari bencana kelaparan akibat konflik.
Tim mitra antar lembaga kemanusiaan, termasuk perwakilan badan PBB dan Lembaga Nasional ataupun Internasional mengunjung daerah tersebut. Tim menemukan tingkat kerawanan pangan, kurang gizi bagi anak dan ibu hamil serta kelaparan yang cukup parah. Laporan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mencatat lebih dari 23.000 orang pada 2015 telah terkena dampak akibat konflik. Situasi ini diperparah dengan musim kemarau yang sedang berlangsung sehingga semakin menimbulkan kerawanan pangan.
Hingga Akhir Februari 2017, lebih dari 100.000 orang di 2 distrik dari Negara Bagian Unity mengalami kelaparan akut dan khawatir akan menyebar. Dan ada sekitar 1 juta lebih orang yang sedang berada di ambang kelaparan. Tentu hal ini bukan berita gembira untuk kita sebagai manusia modern yang belum merdeka sepenuhnya. Bencana kelaparan ini merupakan hasil kelam dari perang saudara yang berkepanjangan selama 3 tahun dan memburuknya krisis ekonomi.
Warga Sudan Selatan di Mayendit. (foto: internasional.metrotvnews.co) |
Kepala Organisasi Pangan dan Pertanian Sudan Selatan mengatakan bahwa perang telah mengganggu negara bagian yang subur, sehingga warga sipil mengandalkan tanaman apa pun yang mereka temukan untuk dikonsumsi. Laporan lain bahkan mencatat sekitar 5,5 juta orang atau sekitar 50% populasi Sudan Selatan memperkirakan akan mengalami kerawanan pangan yang parah dan beresiko kematian dalam beberapa bulan mendatang.
Tentu situasi buruk ini tidak bisa dibiarkan terus menerus karena akan memakan banyak korban lagi. Bantuan dari berbagai negara pun sifatnya hanya sementara, pemulihan kondisi di dalam negeri Sudan Selatan harus diupayakan dan segera akhiri konfliknya. Perdamaian setiap negara harus tercapai untuk menciptakan ketertiban dunia. Semoga Bermanfaat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan